'Abd menurut Seyyed Hossein Nasr : Penghambaan yang Bukan Sekadar Ritual

'Abd menurut Seyyed Hossein Nasr : Penghambaan yang Bukan Sekadar Ritual

~Dalam banyak kitab tafsir, kata ‘abd sering diterjemahkan sebagai “hamba” — tapi bagi Seyyed Hossein Nasr, seorang cendekiawan Muslim dan filosof perennial, kata ini bukan sekadar status agama, melainkan penanda hakikat terdalam manusia.

Kalau kita telusuri dari akar katanya, ‘abd (???) berasal dari akar triliteral Arab ‘a-b-d (? ? ?) yang dasar artinya tunduk, patuh, merendahkan diri di hadapan sesuatu yang lebih tinggi. Dalam tradisi Arab lama — syair Imru’ al-Qais atau Antarah ibn Shaddad misalnya — kata ini muncul untuk menggambarkan budak atau orang yang tidak punya otoritas penuh atas dirinya.

Namun ketika Al-Qur’an datang, makna ‘abd diangkat: dari budak literal menjadi hamba Ilahi, makhluk yang sadar bahwa dirinya memang bukan miliknya sendiri.

Salah satu ayat yang kerap dikutip untuk menjelaskan ini adalah QS. Adz-Dzariyat ayat 56:

> “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (liya‘budun).”

Kata liya‘budun di sini punya akar yang sama: ‘abada ?? ‘ibadah ??‘ubudiyyah. Artinya memang bukan semata-mata “melakukan ritual”, tapi menjadi hamba — tunduk, patuh, dan pasrah sepenuhnya.

Inilah poin yang sering Nasr tekankan dalam karya-karyanya, terutama di Knowledge and the Sacred (1981). Ia menulis:

> “The worship (‘ibadah) of God is not restricted to ritual acts, but is the total submission (‘ubudiyyah) of the servant (‘abd) to the Lord (Rabb), in every aspect of life and being.”
(Nasr, Knowledge and the Sacred, Suhail Academy, 1981, hlm. 18–19)

Bagi Nasr, ritual hanyalah salah satu cara menjaga kesadaran penghambaan. Shalat, puasa, haji, dzikir — itu penting, tapi ibadah sejati tidak berhenti di situ.

Ia menjelaskan lagi dalam Islamic Life and Thought:

> “True worship (‘ibadah) is the realization of man’s true nature as servant, which means to live in constant remembrance of the Sacred.”

Dalam kerangka ini, ‘abd bukan status sosial seperti pada masa Jahiliyyah, tapi identitas eksistensial: manusia sadar bahwa ia hanya penjaga titipan, bukan pemilik mutlak atas hidupnya. Ilmu, seni, kerja, bahkan merawat alam — semua bisa menjadi ibadah, kalau dijalankan sebagai wujud penghambaan.

Nasr mewarisi napas para sufi awal. Rabi‘ah al-‘Adawiyyah, misalnya, sudah sejak abad ke-8 M berkata:

> “Aku menyembah-Mu bukan karena takut neraka atau ingin surga, tetapi karena Engkau memang layak disembah.”
(Lihat: Fariduddin Attar, Tadhkirat al-Awliya’)

Dalam risalah-risalah tasawuf, seperti Risalah al-Qushayriyyah atau Kitab al-Luma‘, ‘ubudiyyah memang selalu dipahami sebagai puncak spiritualitas, bukan sekadar kepatuhan pada aturan lahiriah.

Karena itu, bagi Nasr, manusia yang benar-benar ‘abd adalah dia yang: Menyadari diri sebagai milik Tuhan, Menjadikan ritual sebagai sarana, bukan tujuan  Membawa kesadaran penghambaan ke setiap perilaku: belajar, berkarya, bersosial, hingga merawat semesta

Kesimpulan:

> “Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, ‘ibadah bukan sekadar ritual, tetapi pengabdian total (‘ubudiyyah): penyerahan diri yang mengalir ke seluruh tindakan, sebagai cara manusia menegaskan siapa dia — seorang ‘abd.”

_________________________________________

Source:

Knowledge and the Sacred (1981)

Islamic Life and Thought — esai Worship and Knowledge

Sufi Essays — penekanan Man as Servant
 

Halaman

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index