Ketika Perempuan Salah Paham pada Laki-laki, Ia Sebenarnya Salah Paham pada Tuhan

Ketika Perempuan Salah Paham pada Laki-laki, Ia Sebenarnya Salah Paham pada Tuhan

~Kadang aku pikir, banyak perempuan tidak benar-benar mengerti laki-laki. Dan mungkin, di balik itu, kita juga belum benar-benar mengerti Tuhan.

Sejak kecil, banyak perempuan dibesarkan dengan bayangan bahwa cinta itu datang dari luar. Bahwa akan ada sosok yang datang membawa jawaban, perlindungan, penyembuhan.

Bahwa cinta itu sesuatu yang memberi rasa aman. Tapi tidak banyak yang diajari bahwa rasa aman sejati datang dari dalam, dari bagian maskulin yang belum pernah benar-benar dikenali. Makanya begitu laki-laki datang—dengan segala diamnya, dengan ketidaksempurnaannya, dengan caranya mencintai yang tidak selalu bisa dibaca— perempuan jadi bingung.

Ia menunggu sesuatu yang tak datang-datang, padahal yang sedang berdiri di depannya bukan penyelamat, tapi sesama jiwa yang juga sedang belajar bertahan.

Ketika yang Diharapkan Menjadi Penyelamat, Tapi Nyatanya Juga Rapuh

Kita sering lupa: laki-laki juga takut.

Mereka juga bingung, juga butuh tempat aman,

juga sedang belajar mencintai tanpa kehilangan dirinya sendiri.

Tapi banyak perempuan, tanpa sadar, menuntut laki-laki untuk menjadi versi ideal

yang bahkan tidak bisa ia wujudkan untuk dirinya sendiri.

Di situlah paradoksnya: ketika perempuan belum berdamai dengan aspek maskulinnya, ia akan terus mencari maskulinitas di luar dirinya. Dan ketika ia menemukannya dalam bentuk laki-laki yang juga masih mencari dirinya sendiri, kekecewaan pun datang. Ia merasa dikhianati, padahal yang sebenarnya terjadi:dua luka saling bertemu, berharap yang satu jadi obat bagi yang lain.

Kalau meminjam konsep dari Carl Jung, animus — bagian maskulin dalam diri perempuan. Kalau ia tidak dikenali, ia akan menuntut dunia luar untuk memenuhi perannya.

Tapi ketika ia dihadapi, disadari, diintegrasikan. Perempuan mulai berubah: ia berhenti menunggu, mulai berjalan. Ia berhenti menuntut, mulai memahami. Ia bisa mencintai tanpa harus diselamatkan. 

Diam yang Bukan Ketidakpedulian

Laki-laki sering diam, tapi bukan berarti tak peduli.

Kadang mereka hanya tak tahu cara menyalurkan perasaan tanpa terlihat lemah.

Kadang mereka hanya sedang memastikan dunia tak runtuh hari ini.

Tapi perempuan yang hidup dari bayangan bahwa cinta selalu hangat,

selalu bicara, selalu hadir,

akan mudah mengira diam itu dingin.

Padahal, sama seperti Tuhan — yang tidak selalu menjawab doa dengan kata-kata —

cinta juga punya cara lain untuk hadir.

Dalam sabar yang panjang, dalam setia yang tidak pamer,

dalam perbaikan-perbaikan kecil yang tidak pernah diposting ke mana-mana.

Integrasi: Ketika Perempuan Tak Lagi Menunggu

Perempuan yang sudah mengenali maskulinitasnya

tidak akan lagi merasa kehilangan arah setiap kali laki-laki diam.

Ia tahu kapan harus menunggu, kapan harus melangkah sendiri.

Ia tahu kehadiran tidak selalu berarti kedekatan fisik,

kadang justru ruang yang memberi kesempatan untuk tumbuh.

Dan laki-laki di hadapannya pun bisa bernapas.

Tidak harus selalu kuat, tidak harus selalu benar.

Mereka bisa saling melihat sebagai dua manusia, bukan dua peran.

Yang satu bukan penyelamat, yang lain bukan korban.

Yang satu bukan pemimpin, yang lain bukan pengikut.

Keduanya sama-sama belajar menjadi utuh.

Tentang Tuhan yang Tidak Selalu Menjawab

Kita sering marah pada Tuhan karena tidak menjawab secepat yang kita mau.

Tapi kalau semua doa langsung terkabul, kita tidak pernah belajar percaya.

Begitu juga cinta: kalau semua rasa langsung dipenuhi,

kita tidak pernah belajar menahan, menumbuhkan, memaknai.

Mungkin, memahami laki-laki adalah latihan yang sama dengan memahami Tuhan.

Belajar menerima diam tanpa curiga.

Belajar percaya tanpa bukti.

Belajar mencintai tanpa menunggu diselamatkan.

Mungkin Begini Akhirnya

Laki-laki bukan penyelamat, dan Tuhan bukan pelayan doa.

Keduanya adalah cermin bagi perempuan yang belajar berdiri sendiri.

Dan ketika perempuan berhenti menunggu pahlawan,

ia menemukan sesuatu yang lebih besar:

dirinya sendiri — yang ternyata juga bisa jadi tempat Tuhan bekerja.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index