Bangun Bahteramu Sendiri

Bangun Bahteramu Sendiri

~Perang Dunia III sebenarnya sudah berlangsung.
Tapi bukan dengan ledakan yang mengguncang daratan, Bukan dengan tank dan senjata,
tapi trauma kolektif yang merambat diam-diam—melewati layar, notifikasi, dan kekhawatiran yang tak pernah reda.

Di masa Nabi Nuh, banjir adalah ujian kolosal. Ia datang bukan hanya sebagai bencana alam, tetapi sebagai seleksi spiritual.

Yang menyelamatkan bukan kecepatan lari atau kekuatan berenang—tapi kapal. Bahtera yang dibangun jauh sebelum hujan pertama jatuh.

Hari ini, mungkin tidak ada banjir yang menelan daratan. Tapi deras informasi, tsunami opini, badai algoritma, dan lumpur hoaks—bisa jadi jauh lebih membanjiri hati kita.

Dunia kini bukan sekadar “berisik”—ia seperti laut yang mengamuk.
Sosial media adalah ombaknya: menghempas kita dengan cerita, fakta, rumor, dan luka.
Setiap scroll seperti menenggak air asin—semakin ditelan, semakin haus dan bingung.

Sekarang, bahkan rekening yang tak aktif tiga bulan saja bisa diblokir.
Sistem makin rapi—dan dalam kerapian itu, banyak yang tersingkir secara diam-diam.
Kita makin cepat bergerak, tapi kehilangan pijakan.
Makin banyak pilihan, tapi kehilangan arah.

Ketika informasi tak lagi menuntun, tapi menenggelamkan,
maka bukan lagi soal berenang mengikuti arus—
tapi membangun bahteramu sendiri.

Bahtera: Arketipe Kuno untuk Zaman Baru

Bahtera bukan sekadar kapal besar yang menyelamatkan manusia dan binatang dari banjir besar.
Ia adalah simbol kesadaran personal di tengah kekacauan kolektif.

Ketika semua terdistraksi,
Tuhan menyuruh Nuh untuk membangun sesuatu—
dengan sabar, dengan bimbingan, dengan ketepatan.

> "Maka Kami wahyukan kepadanya: 'Buatlah bahtera di bawah pengawasan dan petunjuk Kami.'"
(QS Al-Mu’minun: 27)

Bukan hanya tentang kapal,
tapi tentang keputusan untuk membangun dari dalam,
sebelum dunia luar menjadi tempat yang tak bisa lagi ditinggali.

Dalam Kejadian 6: (baca)14 sampai 22, Tuhan berfirman kepada Nuh untuk membuat bahtera dari kayu gofir,
dengan ukuran dan instruksi yang spesifik—bukan asal terapung, tapi harus layak ditinggali.
Ada presisi. Ada struktur. Ada komitmen.

Dan itu semua dibangun bukan saat banjir datang,
tapi ketika langit masih tampak cerah.
Ketika tak ada satu pun tetangga yang percaya bahwa air bisa naik setinggi gunung.

Kalau boleh meminjam lagi, ada satu potongan firman yang terasa begitu relevan hari ini:

> “Masuklah kamu ke dalam bahtera itu, engkau dan seisi rumahmu, karena engkaulah yang Kuperhatikan benar di antara orang zaman ini.”
(Kejadian 7:1)

Kesadaran adalah kerja sepi yang justru dibutuhkan sebelum segalanya darurat.

Halaman

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index