Surrender & Resistance: Dua Gerak Jiwa dalam Menemukan Keutuhan

Surrender & Resistance: Dua Gerak Jiwa dalam Menemukan Keutuhan

~Pagi ini terbesit ingin mendengarkan lagunya Dewa 19 yang berjudul “Cemburu.”
Tanpa tahu sebab yang jelas, lagu itu muncul begitu saja dalam pikiran—mengendap seperti serpihan emosi yang belum benar-benar menguap.

Meskipun aku pacar rahasiamu...
Tapi aku manusia
Yang mudah sakit hatinya.”

Liriknya sederhana, tapi menyimpan ledakan kecil di dalam dada. Ada rasa tak terlihat yang sering kali tidak bisa ditunjukkan di permukaan: menjadi yang kedua, tidak dianggap, tapi masih merasa sangat utuh dalam mencintai.

Dan dari situ, muncul satu refleksi besar tentang dua gerak jiwa yang kerap muncul dalam relasi dan pencarian spiritual:
surrender (penyerahan) dan resistance (penolakan).

Resistensi: Ketika Jiwa Menolak Kehilangan Diri

Tak semua cinta memberi ruang bagi keutuhan.
Ada bentuk-bentuk hubungan yang mensyaratkan perubahan, tuntutan, atau identifikasi tertentu agar bisa diterima.
Namun, bagi jiwa yang telah terbiasa mendengar suara batinnya sendiri, perubahan semacam itu akan terasa seperti bentuk lain dari kehilangan diri.

Resistance, dalam hal ini, bukan pembangkangan.
Ia adalah bentuk kesetiaan pada sesuatu yang lebih dalam: intuitif, jujur, dan tidak bisa dipaksa.

> Ia berkata, “Aku ingin dicintai tanpa harus melepaskan siapa aku sebenarnya.”

Surrender: Penyerahan yang Justru Menguatkan

Menariknya, jiwa yang resistan terhadap paksaan justru bisa sangat tunduk dalam satu hal:
ketika bertemu dengan cinta yang tidak menuntut syarat—cinta dari sesuatu yang ilahi, bebas, dan penuh penerimaan.

Surrender di sini bukan pasrah dalam arti negatif,
tapi bentuk penyerahan yang justru memperkuat keberadaan diri.
Karena apa yang dihadapi bukan aturan manusia atau struktur sosial, melainkan kesadaran yang memeluk tanpa menuntut.

Penyerahan seperti ini tidak melumpuhkan, melainkan membebaskan.

Lagu, Tubuh, dan Gerbang Tak Sadar

Lagu—terutama yang datang tiba-tiba—kadang menjadi pembuka pintu bawah sadar.
Ada rasa yang selama ini tersembunyi, tersimpan dalam tubuh, dalam ingatan, dalam pengalaman.
Dan ketika lirik, melodi, dan suasana batin bertemu di satu momen,
kadang tubuh pun ikut merespons secara simbolik—seperti menangis, terdiam, atau bahkan melepaskan sesuatu secara fisik.

Apa yang awalnya hanya terasa seperti keinginan mendengarkan lagu, ternyata menjadi pintu kecil menuju pelepasan emosi yang selama ini tidak membebaskan. 

Keutuhan Tidak Datang dari Pengakuan

Antara resistensi dan surrender, sebenarnya jiwa sedang memilih:
Apakah ia akan menyerahkan dirinya untuk dicintai dengan syarat?
Atau menunggu waktu dan ruang yang tepat untuk mengalami cinta yang tidak membelahnya?

Bukan soal menjadi yang pertama, bukan pula soal status.
Ini tentang mempertahankan keutuhan diri di tengah dunia yang sering meminta penyesuaian.

Karena barangkali...
yang paling layak dicintai adalah jiwa yang tetap jujur,
bahkan ketika itu membuatnya berdiri sendirian lebih lama dari yang lain.

Halaman

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index