Menjadi Paripurna: Dari Ikhsan Sampai Integritas

Menjadi Paripurna: Dari Ikhsan Sampai Integritas

~Manusia di mana pun sering bicara soal bagaimana menjadi baik.
Sebagian menyebutnya ihsan — berbuat seolah dilihat Tuhan, meski mata tak sanggup menatap-Nya.
Sebagian menyebutnya paripurna — hidup utuh, lurus, tak berongga di hati meski tampak sederhana di luar.
Sebagian lagi menyebutnya integritas — kejujuran yang tidak retak walau tak ada yang menonton.

Tiga kata kunci ini muaranya sama:
Bagaimana menjadi manusia yang tidak menambah rusak semesta.

Orang Religius: Ihsan Sebagai Penjaga

Bagi banyak orang yang lahir dalam tradisi iman, hidup lurus bukan cuma soal ritual atau dalil hitam-putih.
Ada sesuatu yang lebih halus: ihsan.
Ihsan bukan hanya soal ibadah formal — tetapi tentang menjaga diri di ruang yang tak terlihat siapa pun.
Ia membisikkan rem ketika tangan hendak menipu meski tak ada CCTV.
Ia menjaga lidah tetap tertata meski tak ada rekaman.
Ia menegur hati: Kalau pun tidak terlihat manusia, bukankah tetap dicatat?

Bagi yang meyakini ini, dalil agama bukan sekadar buku aturan, tapi juga pagar agar hidup tidak liar.
Kalau jatuh, sadar.
Kalau salah, bangkit.
Kalau tergelincir, pulang.
Ihsan menjaga manusia tetap malu pada Tuhan — dan lebih malu lagi pada diri sendiri.

Orang dengan Spiritualitas Cair: Paripurna Sebagai Kompas

Lalu ada orang yang jalannya lebih cair: tak selalu terikat satu nama agama, tapi tetap percaya hidup ini bergerak dalam pola.
Bagi mereka, hidup yang paripurna artinya utuh — di luar tidak tampak lebih harum dari dalam.
Tak ada kepura-puraan menutupi cela.
Yang tampak di teras sama dengan yang dijaga di balik pintu.

Bagi mereka, hidup seperti cermin: apa yang kau lempar, akan kembali padamu entah kapan caranya.
Menipu orang hari ini, kerugian bisa datang besok lewat pintu yang lain.
Berbuat baik hari ini, manfaatnya bisa memantul ke jalan yang tak pernah diduga.
Tak butuh ayat panjang — cukup nurani yang masih mau mendengar, cukup kepekaan membaca pola hidup pelan-pelan.

Oang Rasional: Integritas & Pegangan Jurnal Ilmiah

Ada juga mereka yang jalannya lurus di atas data. Tuhan bukan pusat. Ritual bukan kewajiban.
Yang jadi patokan: laporan audit, statistik, jurnal ilmiah.
Mereka berpegangan pada jurnal ilmiah seperti orang lain berpegangan pada kitab.
Dalil mereka: logika konsekuensi.
Bagi mereka, integritas bukan soal pahala atau dosa — tapi soal menjaga sistem tetap hidup.

Kalau buang sampah sembarangan ?? banjir ?? rumah sendiri kebanjiran.
Kalau curang di laporan ?? reputasi rusak ?? peluang tertutup.
Kalau korup ?? sistem bobrok ?? kepercayaan mati.

Mereka menahan diri bukan karena takut surga-neraka, tapi karena sadar: dunia ini pun mencatat.
Kalau data dipelintir, cepat atau lambat rekam jejak akan bicara.

Manusia: Tunduk pada Referensi

Menariknya, jalur boleh berbeda — tapi semua manusia sebenarnya tunduk pada sesuatu.
Orang religius tunduk pada wahyu.
Orang spiritual tunduk pada hukum getaran hidup, sebab-akibat, karma.
Orang rasional tunduk pada laporan, audit, dan berpegangan pada jurnal ilmiah.

Bahasanya beda, logonya beda, cara berdoanya pun tak sama, atau ada juga yang tidak percaya doa. 
Tapi di intinya, semuanya tetap memegang pagar agar tidak liar.

Dimana Kita Gagal

Tapi di sinilah rapuhnya: teori sering kalah di tikungan godaan.
Baik religius, spiritualis, atau Rasionalis bisa jatuh licin di balik jabatan, bisa merasa ‘lebih benar’ lalu meremehkan yang lai, bisa cerdik memanipulasi data kalau pengawasan lemah.

Nilai ihsan, paripurna, dan integritas benar-benar diuji bukan di bio media sosial, di CV, tapi di detik paling sepi:
Saat tak ada yang menonton, tak ada kamera, tak ada dalil dibacakan.
Saat bisa curang tapi memilih tidak.
Saat bisa mengakali sistem tapi memilih tidak. 
Saat bisa korup kecil tapi lebih suka menerima yang jadi haknya saja. 

Semua Hanya Magang

Kita semua cuma magang di hidup ini.
Belajar jadi manusia beres.
Kalau belum bisa meninggalkan kebaikan besar, setidaknya jangan menambah rusak.
Kalau belum bisa membetulkan semesta, setidaknya jangan menambah sampah di punggung orang lain.

Entah kau berdoa di sajadah, bermeditasi di sepi, atau duduk menatap layar laporan sambil berpegangan pada jurnal ilmiah — peganganmu boleh berbeda, tapi bebannya sama:
Bagaimana mati meninggalkan bumi dengan jejak yang tidak membebani siapa pun.

Karena akhirnya, orang tidak peduli dalil apa yang kau bawa — mereka hanya akan bertanya: Apakah hidupmu menambah rusak, atau sedikit membereskan?

Kalau jawabanmu yang kedua, mungkin di situlah tanda:
Kita sedang, pelan-pelan, belajar jadi paripurna.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index