Ketika Avoidant Tidak Bermaksud Jahat, Tapi Cara Bertahan

Ketika Avoidant Tidak Bermaksud Jahat, Tapi Cara Bertahan

~Saya pernah duduk termenung dan merasa bersalah karena menjauh dari orang-orang yang katanya "dekat"—keluarga, kerabat, bahkan teman yang dulu satu lingkar doa. Tapi ternyata, menjauh itu bukan dosa. Kadang ia bentuk lain dari ikhtiar bertahan.

Dalam dunia hari ini, banyak dari kita hidup di tengah relasi yang membebani, lingkungan yang menekan, atau keluarga yang, meski darahnya sama, membuat napas kita sesak. Lalu kita bertanya: “Apa aku berdosa jika memilih jarak? Apa aku durhaka kalau tak terus-menerus ada untuk mereka?”

Mari kita dengar bisikan langit. Dalam Surah An-Nisa ayat 97, Allah mencatat percakapan tajam antara malaikat dan jiwa-jiwa yang memilih diam di tempat yang menzalimi mereka:

"Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu bisa berhijrah di dalamnya?"

Ini bukan hanya tentang pindah kota atau negara. Ini juga tentang keberanian untuk keluar dari ruang emosional yang menyiksa. Tentang hijrah eksistensial—bergerak dari keterikatan yang merusak ke ruang yang memberi kita napas dan makna.

Hijrah itu kadang sunyi. Kadang kamu disalahpahami. Tapi bukan berarti kamu salah. Rasulullah pun pernah menjauh. Bahkan dari Makkah, tanah kelahirannya sendiri.

Tentu, ini bukan dalih untuk lari dari tanggung jawab. Tapi juga bukan alasan untuk terus hidup dalam rasa bersalah palsu. Menjauh bukan membenci, melainkan mencintai diri yang sudah terlalu lama diam dalam luka.

Tugasmu bukan menyelamatkan semua orang, apalagi kalau kamu sendiri hampir tenggelam. Tugasmu adalah menyelamatkan dirimu dulu, agar kelak jika kembali, kamu membawa kehadiran yang sembuh—bukan luka yang diwariskan.

Jadi, jika kamu sedang menjauh, jangan terlalu keras pada dirimu. Mungkin itu bukan kelemahan, tapi awal dari hijrah yang lebih dalam. Dan yakinlah, bumi Allah ini luas. Sangat luas.
 

#Essai

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index