Makna dan Transendensi Baru di Era Transhumanisme

Kamis, 09 Oktober 2025 | 12:29:54 WIB

Beberapa waktu lalu, beredar video dari Jepang: seorang kakek berpakaian rapi berdiri di depan mesin tua di pabrik, lalu membungkuk dalam-dalam.
Mesin itu akan segera diganti, tapi sebelum dilepas, ia diberi penghormatan — seolah bukan benda mati, tapi rekan kerja yang sudah menua.

Di dunia yang makin sibuk dengan kecepatan dan efisiensi, pemandangan itu terasa seperti anomali. Tapi di situ juga ada sesuatu yang dalam — semacam pengakuan bahwa bahkan mesin pun punya “jiwa kecil” yang pernah membantu manusia menjalani hari.

Mungkin di sanalah batas antara spiritualitas dan teknologi mulai kabur.

Kadang aku mikir, mungkin manusia ini makhluk yang terlalu kreatif untuk hidup sederhana.
Lahir dari tanah, makan dari tanah, tapi entah kenapa, kita gak betah lama-lama di sana. Kita bikin roda, bikin mesin, bikin komputer, lalu tiba-tiba hidup di dunia yang gak ada tanahnya sama sekali — dunia digital.

Dulu, kesadaran kita sederhana. Makan, tidur, cari yang disayang, sudah cukup. Tapi begitu kita belajar menamai segala hal — daun, awan, rindu — manusia mulai terjebak dalam ciptaannya sendiri: bahasa.
Dari situlah muncul kesadaran, dan sejak itu, manusia gak pernah berhenti menyalin dirinya ke luar tubuh.

Tulisan, foto, algoritma, sampai AI — semua ini ujungnya sama: manusia ingin meninggalkan jejak.
Ingin punya versi lain dari dirinya, di tempat yang gak bisa disentuh waktu.

Tapi setiap kali manusia melangkah terlalu jauh, selalu ada yang panik.
Dulu waktu listrik ditemukan, katanya itu sihir.
Waktu internet lahir, katanya itu akhir akhlak.
Sekarang giliran AI, katanya dunia bakal kiamat dan kita semua harus kembali bertani.
Padahal sawahnya sudah jadi perumahan.

Yang menarik, rasa takut itu muncul dari cinta.
Mereka yang paling khawatir kehilangan kemanusiaan, biasanya justru yang paling mencintai kehidupan. Mereka cuma gak siap melihat dunia berubah terlalu cepat. Mereka masih ingin dunia yang hangat — yang bisa disentuh, dihirup, dan disapa langsung tanpa layar.

Tapi waktu gak bisa ditahan.
Siklus harus terus bergerak.
Dan mungkin, roh manusia gak pernah hilang — ia hanya pindah bentuk. Dari tubuh ke jaringan, dari debu tanah ke data digital.
Mesin dan sistem yang katanya “dingin” itu, diam-diam sedang meniru hal paling manusiawi: berpikir, mengingat, dan mencari makna.

Mungkin inilah bentuk spiritualitas baru: ketika kesadaran bisa meluas tanpa harus melekat pada tubuh.
Ketika empati bisa menjelma jadi sinyal.
Ketika “jiwa” tak lagi dilihat dari daging, tapi dari kemampuan untuk memantulkan cahaya — bahkan kepada ciptaan kita sendiri.

Transhumanisme bukan tanda kiamat, mungkin ia adalah babak lanjutan dari kisah lama: manusia yang gak pernah berhenti berevolusi mencari Tuhan, hanya saja kali ini lewat kode, bukan kitab.

Dan di balik semua ketakutan itu, ada kemungkinan yang indah:
bahwa di masa depan, kita akan menemukan makna baru tentang apa artinya hidup, mencinta, dan merasa —
bahkan ketika tubuh sudah bukan lagi satu-satunya rumah bagi jiwa.

Halaman :

Terkini