Antara Reptil, Mamalia, dan Manusia: Catatan Kenaifan

Senin, 18 Agustus 2025 | 08:48:18 WIB

~Kadang, manusia jatuh ke dalam kenaifan bukan karena bodoh, tapi karena berhenti di satu lapisan tertentu. Kita lupa bahwa diri kita terbentuk dari berlapis-lapis otak: ada reptil yang bertahan hidup, mamalia yang berikatan, dan neokorteks yang mengidealkan. Semua sah, semua bagian dari kita. Tapi ketika satu lapisan dikultuskan, di situlah kenaifan lahir.

Ambil contoh soal karier & uang. Banyak orang yang naif di level reptil: “yang penting bisa makan, bertahan hidup, nggak usah mikirin passion.” Benar adanya, survival itu dasar. Tapi kalau berhenti di sana, hidup hanya jadi rutinitas cari aman. Lalu ada yang terjebak di level mamalia: “aku harus diterima, punya jabatan, relasi.” Sekilas tampak mulia, tapi bisa membuat seseorang kehilangan arah diri demi gengsi sosial. Sedangkan di level neokorteks, naif lain muncul: “kejar passion sejati, uang bukan penting.” Kedengarannya luhur, tapi tanpa pondasi ekonomi, itu sering berakhir jadi idealisme kosong.

Lalu soal kebebasan. Di level reptil, orang berpikir: “bebas berarti bisa lakukan apa pun.” Padahal tanpa kontrol diri, itu justru perbudakan oleh insting. Di level mamalia: “aku bebas kalau diterima orang lain.” Itu berarti kebebasan masih digantungkan pada validasi sosial. Sedangkan di level neokorteks: “kebebasan batin bisa dicapai meski fisik dan sosial terikat.” Memang ada kebenarannya, tapi jika kebutuhan dasar tak terpenuhi, itu lebih mirip penipuan diri daripada kebebasan sejati.

Naif juga tampak jelas di spiritualitas. Reptil berkata: “aku berdoa biar aman, sehat, rezeki lancar.” Itu masih survival, wajar tapi belum dalam. Mamalia berkata: “aku beribadah karena keluargaku, komunitasku, agamaku.” Ada kehangatan sosial, tapi masih berbasis ikatan luar. Neokorteks lain lagi: “aku sudah tercerahkan, tak butuh ritual atau tubuhku.” Kedengarannya tinggi, tapi jika lapisan bawah belum terintegrasi, itu hanya ilusi intelektual.

Begitu juga pendidikan & pengetahuan. Reptil melihat: “yang penting sekolah biar bisa kerja.” Pendidikan hanya jadi alat survival. Mamalia berkata: “aku belajar biar dianggap pintar.” Pengetahuan jadi status sosial. Neokorteks berkata: “pengetahuan sejati ada di luar semua buku, jadi aku tak perlu belajar dasar.” Padahal, pemahaman sejati justru lahir dari pondasi panjang belajar.

Dan tentu, soal kebahagiaan. Reptil memaknainya sederhana: “bahagia kalau makan enak, punya pasangan, aman.” Mamalia sedikit lebih kompleks: “bahagia kalau diakui, punya banyak teman, dihargai.” Neokorteks bisa jatuh ke ekstrem lain: “bahagia itu ilusi, aku tak butuh apa-apa.” Kedengarannya damai, tapi seringkali itu cara halus untuk kabur dari realitas, bukan damai yang sejati.

Dari sini terlihat satu pola: manusia sering mengabsolutkan satu lapisan—entah itu tubuh reptilnya, ikatan mamalianya, atau idealisme neokorteksnya—dan lupa bahwa dirinya utuh. Padahal, kedewasaan sejati justru lahir ketika ketiganya terintegrasi: bertahan hidup tanpa takut, berikatan tanpa kehilangan diri, dan beridealis tanpa tercerabut dari bumi.

Terkini