Ketika Tubuh Perempuan dan Ibu Bumi Sama-Sama Diperkosa

Ketika Tubuh Perempuan dan Ibu Bumi Sama-Sama Diperkosa

~Belakangan ini, berita soal anak perempuan dilecehkan oleh ayah kandung tidak jarang muncul.
Kadang pamannya. Kadang kakaknya. Kadang bahkan kakeknya.
Laki-laki dalam lingkup terdekat yang mestinya jadi pelindung, malah jadi pelaku.

Kita marah. Kita kaget. Tapi tak lama kemudian, kita lupa.
Atau lebih parah: kita bilang, “Itu urusan keluarga mereka.”

Padahal ini bukan cuma urusan keluarga.
Ini pola. Ini cermin dari sesuatu yang lebih luas—lebih dalam. Sesuatu yang juga terjadi pada Ibu Bumi.
 

Bahasa Kekerasan yang Disamarkan

Waktu hutan dibabat, sungai dikeringkan, gunung dikeruk—apa kata mereka?
“Demi pembangunan.”
“Ini wilayah negara.”
“Sudah ada izin resmi.”

Padahal yang paling dulu kehilangan air, makanan, dan tempat tinggal siapa?
Warga kecil. Perempuan. Anak-anak.
Mereka yang hidupnya paling bergantung pada apa yang alam berikan setiap hari.

Dan sering kali, pelakunya adalah “keluarga sendiri”:
Negara. Pejabat. Tokoh masyarakat.
Orang-orang yang katanya melindungi.


Ibu yang Diabaikan dan Dilukai

Kalau dipikir-pikir, kedurhakaan manusia terhadap perempuan
mirip dengan kedurhakaan manusia terhadap bumi.

Ibu yang selama ini memberi makan, merawat, bahkan memaafkan,
malah kita eksploitasi. Kita cabik.
Bukan cuma dengan tubuh—tapi juga dengan alat berat.

Hutan digunduli, tanah dikoyak, air dikuras, langit dilukai.
Tanpa izin. Tanpa empati. Tanpa jeda.

Seperti tubuh perempuan yang dipaksa tunduk,
bumi pun dilukai tanpa sempat bicara:
“Aku masih mampu, atau tidak?”


Keterhubungan

Makanya, waktu ada yang bilang tubuh perempuan dan tubuh bumi itu terhubung,
itu bukan sekadar simbol manis.
Itu luka yang saling berpantulan.

Yang satu dieksploitasi lewat relasi kuasa dalam rumah tangga,
yang satu lagi lewat kebijakan dan mesin industri.
Tapi keduanya lahir dari satu logika:
“Aku lebih berkuasa, maka aku berhak”

Diamnya Luka

Dan karena dua-duanya sering dianggap “urusan dalam”—
urusan rumah tangga, urusan negara—
maka suara korban sering dibungkam.

Soal pelecehan? Disuruh diam, demi nama baik keluarga.
Soal lingkungan? Dibilang ganggu investasi.

Padahal yang dirusak bukan cuma ruang, tapi rasa aman.
Bukan cuma tubuh, tapi martabat.

Luka ini Urusan Kita Semua

Jadi kalau kamu merasa ini bukan urusanmu,
coba pikir ulang.

Saat bumi rusak, yang paling dulu kesulitan bukan para elite,
tapi perempuan-perempuan yang harus cari air, cari makan, rawat keluarga.

Saat anak perempuan dilecehkan dan disuruh diam,
yang terluka bukan cuma korban,
tapi kepercayaan kita pada tempat yang seharusnya paling aman: rumah.

Kalau kekuasaan terus dipakai tanpa empati,
korban akan terus bertambah.

Di hutan.
Di rumah.
Di mana pun yang mestinya jadi tempat hidup.

Dan kalau kita terus diam,
kita sedang berdiri di sisi yang sama:
sisi pelaku.

Sisi yang merasa berhak atas tubuh yang dianggap lemah.
Padahal tubuh-tubuh itulah yang paling banyak memberi—
baik tubuh perempuan, maupun tubuh bumi.

#Essai

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index