Pandemi Mengajarkan: Alamatku Bukan Hanya Alamat Geografis

Pandemi Mengajarkan: Alamatku Bukan Hanya Alamat Geografis

~Pandemi kemarin itu memang nyebelin, tapi juga ngajarin kita banyak hal. Termasuk soal kehadiran. Dulu, kalau ada rapat atau kajian, orang pasti nanya, “Dateng nggak?” Sekarang, pertanyaannya lebih ke, “link zoom-nya mana?”

Kehadiran nggak lagi soal tubuh duduk manis di ruangan, tapi soal bisa klik link dan masuk ke ruang digital. Kadang bahkan sambil masih pake daster, rebahan di kasur, atau setengah melek karena baru bangun. Tapi, ya gitu, kita hadir—secara teknis.

Dari situ, kita mulai sadar: alamat itu nggak melulu soal titik GPS. Kadang, alamat itu ya akun Zoom, channel Discord, grup WA keluarga besar yang isinya 80% broadcast hoaks, atau bahkan… ya ruang batin yang nggak kelihatan.

Kita hidup di era yang absurd tapi canggih. Masuk kelas tinggal klik. Ibadah cukup buka YouTube. Ketemu orang bisa sambil nyuci piring. Tapi justru di situ kita belajar: kehadiran ternyata bukan cuma soal fisik. Kadang, tubuh kita duduk di ruang tamu, tapi batin lagi ngambang di masa lalu. Kadang, kita ikut rapat tapi jemari malah scrolling Shopee. Ya, batin kita sedang login ke alamat lain.

Hidup modern ngajarin kita banyak istilah teknologi, tapi diam-diam kita juga diajarin menganalogikan istilah-istilah tersebut dalam kehidupan batin.

Misalnya, kita semua kayak punya IP address. Bukan cuma alamat rumah atau KTP, tapi semacam identitas kesadaran. Ada yang gampang connect ke rasa syukur, ada yang koneksinya lebih cepet ke rasa curiga. Sama kayak device: ada yang cepet nyambung, ada yang harus dimatiin dulu biar bisa online lagi.

Terus, kita juga butuh DNS. Dalam dunia teknologi, DNS itu yang bikin kita bisa akses Google tanpa ngetik IP rumit kayak 8.8.8.8. Dalam hidup batin, DNS itu kayak ilmu atau pengalaman—yang bantu kita nerjemahin istilah “ikhlas”, “damai”, “pasrah”—jadi pengalaman nyata, bukan cuma kata-kata.

Tapi nggak semua ruang batin bisa kita akses begitu aja. Ada gateway-nya. Kadang bentuknya pengalaman menyakitkan, kadang rasa syukur yang dalam. Tapi pas udah masuk, kita ngerti: oh, ini toh rasanya connect ke sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Masalahnya, kadang kita login ke ruang yang salah. Batin udah penuh notifikasi: gosip, drama, berita random. Gimana bisa fokus kalau semua tab kebuka? Kita butuh firewall juga—bukan buat nutup diri dari dunia, tapi buat nyaring sinyal yang masuk ke dalam.

Dan kayak Wi-Fi, hidup ini soal sinyal. Kalau hati tenang, kita connect. Kalau pikiran bising, sinyalnya lemah. Kita bilang, “Hidupku lagi nggak jelas,” padahal mungkin… no internet access aja.

Kadang, untuk ngecek apakah kita masih online dengan diri sendiri, kita butuh yang namanya ping. Dalam dunia teknologi, ping itu cek sederhana buat lihat apakah koneksi masih stabil. Dalam batin, ping bisa berbentuk dzikir, mantra, atau kalimat-kalimat sederhana yang kita ulang-ulang. Kata-kata yang punya kekuatan untuk menghubungkan kita dengan sesuatu yang lebih besar—entah itu ketenangan, cinta, atau Tuhan. Seperti menyebut nama-Nya, atau mengulang mantra yang menenangkan pikiran dan mengembalikan fokus kita. Itu adalah cara kita menstabilkan koneksi batin—menghadirkan kembali kedamaian yang kadang terlepas dari genggaman kita.

Karena di zaman sekarang, pertanyaan pentingnya bukan cuma:
“Wi-Fi-nya nyambung nggak?”
Tapi juga:
“Hatiku lagi login ke mana, ya?”

#Refleksi

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index