Di sore yang tenang namun terasa ganjil ini, Indonesia kehilangan satu lagi cahaya seninya. Titiek Puspa, nama yang tak asing bagi telinga lintas generasi, telah berpulang. Ia meninggal dunia di usia senja, namun tidak pernah benar-benar tua dalam ingatan kita. Karena apa yang beliau tinggalkan bukan hanya lagu, tapi juga keteladanan—dalam hidup, dalam cara mencinta, juga dalam cara bertahan.
Titiek Puspa bukan sekadar artis. Ia adalah satu bab penting dalam sejarah budaya populer Indonesia. Nama aslinya adalah Sudarwati, lalu menjadi Kadarwati, hingga akhirnya Presiden Soekarno sendiri memberinya nama yang kita kenal sekarang: Titiek Puspa. Nama yang mekar di hati rakyat, mekar di antara denting piano dan lirik-lirik yang jujur.
Lagu-lagu ciptaannya seperti Bing, Kupu-Kupu Malam, dan Apanya Dong, bukan hanya terkenal, tapi menancap. Dalam Kupu-Kupu Malam, kita melihat keberanian seorang perempuan menulis tentang kehidupan yang sering dihindari orang-orang. Ia tidak menghakimi, tidak menuding, hanya bercerita—dan dari situ, kita belajar berempati.
Ia juga dikenal sangat disiplin dan menjaga hidup sehat. Bahkan ketika kanker mencoba menjatuhkannya, ia menanggapinya bukan dengan keluhan, tapi dengan lagu. Ya, di masa pengobatan, ia tetap menulis. Dalam sakit, ia masih memberi. Tidak banyak orang bisa begitu.
Titiek Puspa juga punya cerita masa muda yang menarik. Pernah menjadi finalis Puteri Indonesia di tahun 1954, ia melangkah ke dunia hiburan bukan hanya dengan modal rupa, tapi juga semangat dan kecerdasan. Ia tampil pertama kali di atas panggung pada usia 14 tahun. Sejak itu, panggung menjadi rumahnya.
Karya-karyanya bukan hanya untuk diperdengarkan, tapi direnungkan. Ia menyanyikan hidup dengan suara tenang, tak perlu teriak, namun sampai ke dada.
Kini, panggung itu terasa lebih sepi. Tapi tidak kosong. Sebab warisannya terlalu dalam untuk dilupakan. Lagu-lagunya akan terus diputar, bukan hanya di radio atau televisi, tapi di ruang-ruang keluarga, di mobil tua yang melaju pelan, di hati orang-orang yang pernah merasa ditemani oleh suaranya.
Selamat jalan, Ibu Titiek Puspa. Terima kasih telah memberi lebih dari yang kami kira. Suaramu tak akan pernah benar-benar hilang. Ia akan terus hidup, selama masih ada yang percaya bahwa lagu bisa menyembuhkan, dan bahwa perempuan bisa menjadi legenda tanpa harus kehilangan jati dirinya.