Eksperimen Global atas Tubuh dan Jiwa Manusia

Eksperimen Global atas Tubuh dan Jiwa Manusia

~Di banyak negara berkembang, wacana tentang “kita dijadikan kelinci percobaan” bukanlah hal baru. Saat pandemi melanda, muncul berbagai spekulasi: vaksin-vaksin dicurigai sebagai alat kontrol populasi, nyamuk-nyamuk dimodifikasi genetiknya, dan obat-obatan baru diuji tanpa persetujuan yang benar-benar sadar. Di media sosial, muncul narasi bahwa rakyat di dunia ketiga adalah korban dari eksperimen global oleh elit dunia.

Perasaan sebagai korban ini bisa dimengerti. Ada sejarah panjang ketimpangan kekuasaan dan akses informasi yang membuat banyak komunitas merasa tak punya kendali atas apa yang masuk ke tubuh mereka. Di desa-desa, vaksin disuntikkan tanpa penjelasan. Di puskesmas, alat kontrasepsi dipasang sebagai bagian dari target nasional. Semua terjadi atas nama penyelamatan, namun sering tanpa dialog.

Namun, satu hal penting yang luput dari banyak narasi konspiratif ini adalah kenyataan bahwa negara-negara maju pun sedang dan telah mengalami eksperimen serupa—hanya bentuknya berbeda. Jika di tempat kita tubuh menjadi sasaran, maka di negeri-negeri liberal dan modern, yang diuji adalah jiwa manusia itu sendiri.

Di kota-kota besar seperti London dan Tokyo, mulai bermunculan komunitas manusia yang berpakaian dan bertingkah seperti anjing—menyalak, dikalungi, bahkan berjalan dengan empat kaki di ruang publik. Sementara itu, tokoh publik seperti Bruce Jenner—mantan suami dari Kris Jenner—bertransisi menjadi Caitlyn Jenner dan dielu-elukan sebagai ikon kebebasan identitas.

Fenomena ini sering disebut sebagai bentuk ekspresi diri, atau kemenangan hak individu. Tapi di sisi lain, ia juga bisa dilihat sebagai tanda bahwa manusia sedang kehilangan arah. Bahwa jiwa manusia diuji lewat kebingungan yang dibungkus dalam nama kebebasan.

Eksperimen Tubuh di Negeri-Negeri yang Tak Bersuara

Di banyak negara berkembang, tubuh manusia sudah sejak lama menjadi ladang eksperimen. Vaksin-vaksin baru, obat-obatan, alat kontrasepsi jangka panjang, hingga kampanye kesehatan global kerap diuji di masyarakat yang pendidikannya minim dan infrastrukturnya lemah.

Banyak yang menerima suntikan tanpa tahu isinya. Banyak pula yang dijadikan data statistik atas nama kemanusiaan, padahal realitanya adalah ketimpangan. Tubuh diuji tanpa hak bertanya. Realitas ketidakadilan itu sering kali dibungkus dalam bahasa bantuan.

Eksperimen Jiwa di Negeri-Negeri yang ‘Bebas’

Sementara itu, di negara-negara maju, eksperimennya lebih subtil. Di sana, bukan tubuh yang diganggu, tapi jiwa dan kesadaran manusia. Gender tidak lagi tetap. Orientasi menjadi spektrum. Bahkan, batas antara manusia dan hewan mulai dilarutkan—seolah identitas adalah kostum yang bisa dilepas-pakai.

Konsep diri manusia tidak lagi bersumber dari spiritualitas, keluarga, atau nilai-nilai lama. Melainkan dari algoritma, komunitas online, atau rasa tidak puas terhadap tubuh dan masa lalu. Diri menjadi proyek tanpa akhir, dan setiap orang adalah laboratorium berjalan.

Tokoh-tokoh seperti Caitlyn Jenner jadi simbol budaya baru, sementara komunitas seperti “puppy play” menjadi contoh dari bagaimana jauh identitas bisa dibentuk ulang. Sebagian orang menyebutnya pembebasan. Sebagian lain, seperti kelompok konservatif di Amerika Serikat, melihatnya sebagai ancaman terhadap struktur sosial dan keberlangsungan peradaban.

Tanda-Tanda Retaknya Eksperimen

Namun di balik kegilaan ini, muncul retakan. Mereka yang menjalani transisi mulai bercerita tentang penyesalan. Komunitas “detransitioner”—mereka yang kembali ke identitas sebelumnya—kian bertambah. Psikolog pun mulai bersuara, bahwa banyak dari perubahan ini muncul bukan dari kesadaran sejati, tapi dari krisis makna yang belum terselesaikan.

Ada juga gelombang kecil, tapi nyata, dari masyarakat yang mulai kembali ke bentuk-bentuk keluarga tradisional. Menikah, punya anak, membangun rumah, dan hidup lebih sederhana—seolah mengatakan bahwa jalan bebas tak selalu membebaskan.

Kita Semua Sedang Diuji, Tapi dalam Bentuk Berbeda

Di negeri miskin, tubuh diuji. Di negeri kaya, jiwa dipertaruhkan. Di satu sisi, manusia disuntik untuk bertahan hidup. Di sisi lain, mereka didorong berubah demi “menemukan diri”. Tapi baik yang pertama maupun yang kedua, semuanya adalah bentuk eksperimen zaman terhadap manusia.

Zaman ini membuat manusia seperti proyek terbuka. Tubuh dan kesadaran diperlakukan seperti bahan mentah yang bisa dibentuk ulang. Padahal ada bagian dari manusia yang tidak bisa dibentuk ulang. Yang harus dijaga. Yang hanya bisa ditemukan, bukan direkayasa.

Saatnya Pulang ke Diri yang Hakiki

Namun, bagi mereka yang masih peka, zaman ini adalah tanda. Bahwa manusia butuh fondasi yang lebih dalam daripada kebebasan. Bahwa bukan segala hal harus diubah. Bahwa menemukan diri bukan berarti menciptakan ulang identitas, tetapi justru menemukan kembali apa yang sudah tertanam dalam jiwa sejak awal—nilai, kesadaran, ketundukan, dan rasa keterikatan pada sesuatu yang lebih tinggi.

Mungkin sekarang bukan saatnya memilih kubu. Bukan saatnya jadi yang paling keras suaranya. Tapi saatnya mendengarkan lebih dalam. Bahwa dalam setiap eksperimen, ada luka. Dalam setiap kebebasan, ada kesepian. Dan dalam setiap penolakan, ada rasa takut yang belum selesai.

Di dunia yang menganggap segala hal boleh dicoba, yang paling revolusioner justru adalah mereka yang memilih kembali.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index