Iran, Israel dan Diri Kita: Sebuah Narasi Alternatif

Iran, Israel dan Diri Kita: Sebuah Narasi Alternatif

~Disclaimer : Tulisan ini bukan kebenaran mutlak, melainkan perenungan dari dalam diriku sendiri. Sebuah upaya menyusun narasi alternatif—bukan untuk menggantikan keyakinan siapa pun, tetapi untuk membantu melihat realitas dengan lebih jernih. Jika ada yang selaras dengan hatimu, ambillah. Jika tidak, biarkan saja ia berlalu seperti angin.

Di tengah ketegangan geopolitik yang terus meningkat antara Israel dan Iran, dunia kembali dihebohkan oleh berbagai prediksi eskatologis: bahwa kiamat sudah dekat, bahwa Dajjal akan muncul, bahwa peperangan besar yang dijanjikan dalam kitab-kitab suci akan segera dimulai.

Tapi di balik semua narasi itu, kita perlu bertanya: Apakah narasi besar ini memang hanya soal politik dan senjata, atau sebenarnya mencerminkan sesuatu yang jauh lebih dalam—yakni kondisi kesadaran manusia itu sendiri?

Narasi Mesianik: Bukan Sekadar Cerita Akhir Zaman

Baik Israel maupun Iran mengusung gagasan yang mengakar kuat dalam mitologi dan nubuat akhir zaman.

Israel, khususnya dalam konteks Zionisme religius, melihat dirinya sebagai bagian dari proyek "penggenapan nubuat". Yerusalem dianggap sebagai pusat kedatangan Mesias, dan banyak tokoh ultra-ortodoks bahkan meyakini bahwa negara ini berperan dalam menyiapkan kerajaan Tuhan di bumi.

Iran, terutama dalam perspektif Syiah Imamiyah, menanti kedatangan Imam Mahdi sebagai penyelamat akhir zaman yang akan menegakkan keadilan universal. Mereka percaya bahwa ketegangan dan kekacauan global adalah bagian dari "pra-kemunculan" Mahdi.

Pertanyaannya: Apakah semua ini benar-benar akan terjadi secara literal, ataukah hanya simbol dari dinamika spiritual yang sedang kita alami secara kolektif?

Yesus/Isa sebagai Kesadaran: Bukan Sekadar Sosok atau Tokoh Eksternal

Dalam banyak tradisi, seperti dalam Tasawuf, Sufi atau misalnya Mistik Kristen, Isa (Yesus) bukan hanya sosok sejarah, tetapi simbol pengalaman spiritual tertinggi: penyerahan total kepada Tuhan, kehancuran ego, dan kebangkitan dalam kasih.

Dalam perspektif batin, Isa bukan datang dari langit… melainkan bangkit dari dalam hati manusia yang telah luluh lantak.

Ia adalah: Pengalaman fana (lenyapnya keakuan), lalu baqa (hidup bersama Tuhan). Simbol kasih dan pemaafan yang mampu menaklukkan dendam dan keinginan membalas. Wujud dari jiwa yang tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi sebagai cermin Sang Ilahi.

Mungkin perlu disadari, bahwa jangan hanya terpaku pada sosok, tetapi lihatlah kualitas ketuhanan (divine qualities) yang bisa kita aktualkan dari Tokoh tersebut : kasih tanpa syarat, kerendahan hati, pengampunan, dan kesadaran akan kehadiran Tuhan. Semua itu adalah "Isa" yang bisa hadir dalam setiap pribadi.

Jadi menunggu Isa bukan soal menengadah ke langit, tapi menengok ke dalam jiwa: Apakah kesadaran sebagai Isa/Yesus telah hidup di sana? Apakah sudah diresapi dan dimulai menjadi sebuah pengalaman? 

Dajjal: Musuh Tak Kasat Mata yang Diam di Dalam

Dalam berbagai hadis, Dajjal digambarkan sebagai sosok dengan satu mata—sebuah simbol yang sangat kaya makna.

Satu mata bisa dimaknai sebagai cara pandang tunggal dan egois.

Dajjal adalah kesombongan intelektual, pengingkaran terhadap Yang Gaib, dan pengakuan sebagai pusat segala-galanya.

Ia membawa surga yang sebenarnya neraka, dan neraka yang sebenarnya surga—sebuah sindiran terhadap manusia modern yang tertipu oleh bentuk dan kehilangan hakikat.

Lebih dari itu, Dajjal bisa hadir sebagai: Ambisi pribadi yang menuhankan dirinya. Sistem ekonomi dan teknologi yang menjauhkan manusia dari fitrahnya. Bahkan ideologi yang mengklaim membebaskan, padahal mengikat lebih dalam. Maka jangan terlalu sibuk mencari Dajjal di luar, sementara kita belum menaklukkan Dajjal yang bersemayam dalam diri sendiri.

Bahaya: Ketika Kita Terlalu Terpaku ke Luar

Saat dunia sedang berisik membicarakan perang Israel-Iran, umat manusia seolah terbagi menjadi dua:

1. Mereka yang bersikap politik, memilih pihak, saling menyalahkan.

2. Mereka yang bingung dan takut, lalu mencari tanda-tanda kiamat di mana-mana.

Keduanya lupa satu hal: bahwa perang terbesar justru sedang terjadi dalam diri sendiri.

Seperti yang disabdakan Rasulullah setelah pulang dari perang besar: “Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.”

Ketika para sahabat bertanya, “Apa itu jihad besar?”

Beliau menjawab, “Jihad melawan hawa nafsu.”

Dengan kata lain, peperangan luar hanyalah gema dari peperangan batin yang jauh lebih dalam dan menentukan.

Bagaimana Seharusnya Kita Bersikap?

1. Bangkitkan Isa dalam Diri

Bangun kesadaran kasih, kerendahan hati, dan penyerahan total kepada Tuhan. Bukan karena Isa akan turun secara fisik, tapi karena kesadaran mesianik bisa lahir dari batin yang bening.

2. Kenali dan Tundukkan Dajjal di Dalam

Awasi ego, keinginan mendominasi, dan godaan menjadi pusat segalanya. Setiap kali kita memilih citra daripada hakikat, kita sedang menyambut Dajjal.

3. Bangun Bahtera Kesadaran

Di tengah banjir berita, opini, dan ketakutan, buatlah ruang sunyi untuk mendengarkan Tuhan. Seperti Nuh membangun bahteranya—kita pun harus membangun kesadaran yang mampu mengapung di atas gelombang zaman.

4. Jangan Fanatik terhadap Tanda, Tapi Terjaga terhadap Makna

Tanda-tanda zaman memang bisa menjadi petunjuk, tapi bukan satu-satunya kompas. Fanatisme terhadap simbol akhir zaman seringkali justru menjebak kita dalam ketakutan dan spekulasi. Yang lebih penting adalah memaknai tanda-tanda itu sebagai dorongan untuk membersihkan hati, memperbaiki niat, dan memperkuat hubungan dengan Tuhan.

Tanda bukan tujuan. Tanda adalah arah. Dan arah itu seharusnya menuntun kita untuk pulang ke dalam.

Dari Israel dan Iran, dari Dunia ke Diri

Perang itu nyata, tapi medan utamanya bukan di Timur Tengah. Medan utamanya adalah hati manusia.

Isa akan datang—jika kita siap menyambutnya. Dajjal akan menang—jika kita tetap membiarkannya hidup di dalam dada.

Dan akhir zaman… bisa saja bukan tentang dunia yang meledak, melainkan tentang hilangnya kesadaran manusia terhadap siapa dirinya dan siapa Tuhannya.

Maka jangan sibuk menunjuk siapa yang salah di luar sana, sebelum kita berdamai dengan perang yang masih berlangsung di dalam jiwa kita sendiri.

Karena dunia bisa Kiamat kapan saja. Tapi selama hati masih terjaga, akan selalu ada keteguhan hati menghadapi permulaan baru.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index