Cermin antara Cinta dan Ketuhanan
Apakah mungkin... kesalahpahaman laki-laki terhadap perempuan sesungguhnya bersumber dari pola batin yang sama ketika manusia salah memahami Tuhan?
Banyak laki-laki memperlakukan perempuan sebagaimana manusia memperlakukan Tuhan.
Kita ingin Tuhan yang bisa dijelaskan, dimiliki, dikuasai tafsirnya.
Padahal, sejak awal, Tuhan bukan untuk dimiliki—melainkan untuk dihadiri.
Begitu pula perempuan: bukan untuk dimiliki, tapi untuk dihadiri dengan kesadaran penuh.
Mungkin itu sebabnya hubungan sering hancur, bukan karena kurang cinta, tapi karena terlalu banyak takut.
Kita takut pada misteri, takut pada kebebasan, takut pada hal-hal yang tak bisa kita ukur atau kontrol.
Dan perempuan, seperti halnya Tuhan, selalu membawa ruang misteri itu: ruang yang membuat ego kecil kita merasa tidak aman.
Namun di situlah sebetulnya latihan batin paling penting dimulai—belajar mencintai tanpa perlu tahu seluruh jawaban.
Perempuan: Wajah Lembut dari yang Ilahi
Dalam hampir semua tradisi tua, sisi feminin selalu menjadi simbol dari kedalaman dan kelahiran:
dari rahim bumi, dari rahim manusia, dari rahim kegelapan tempat cahaya pertama kali menyala.
Namun dalam sejarah panjang dominasi kelaki-lakian, sisi ini ditekan, direduksi, bahkan dihapus—
sama seperti manusia yang menyingkirkan sisi lembut dan misterius dari Tuhannya sendiri.
Perempuan akhirnya diposisikan sebagai pelengkap, bukan pusat.
Sebagai tubuh, bukan kesadaran.
Padahal, justru di sanalah Tuhan menyembunyikan sebagian wajah-Nya:
di dalam rahim yang bisa menanggung rasa sakit dan cinta sekaligus.
Mungkin itulah kenapa, ketika laki-laki menolak sisi feminin—dalam dirinya maupun di dunia—
ia sedang menolak separuh wajah Tuhan.
Cinta Tanpa Kepemilikan, Iman Tanpa Penguasaan
Cinta yang sejati tidak pernah tentang dominasi.
Ia selalu tentang kehadiran, bahkan dalam ketidaktahuan.
Ketika kita mampu melihat perempuan sebagai cermin Tuhan—bukan obyek, bukan ujian, tapi pantulan kesadaran—
maka hubungan tidak lagi sekadar “aku dan kamu”, tapi “kita dan semesta.”
Begitu pula dengan spiritualitas.
Selama kita masih ingin Tuhan membuktikan diri sesuai kehendak kita,
kita masih mencintai seperti anak kecil yang takut ditinggal tidur ibunya.
Padahal cinta dewasa adalah ketika kita bisa percaya, bahkan dalam gelap.
Mungkin belajar mencintai perempuan dan belajar mempercayai Tuhan adalah latihan yang sama:
latihan untuk tidak takut pada kehilangan kendali.
Karena mungkin kendali memang bukan tujuan,
melainkan rintangan yang harus dilepaskan sebelum kita benar-benar mampu hadir.
Luka Kolektif, Perjalanan Kolektif
Kesalahan laki-laki terhadap perempuan bukan sekadar kesalahan sosial, tapi juga kesalahan spiritual.
Ia adalah pantulan dari kesalahpahaman manusia terhadap Tuhan yang tak bisa dikurung dalam bentuk.
Maka perjuangan perempuan bukan hanya soal kesetaraan, tapi soal penyembuhan hubungan manusia dengan keilahian itu sendiri.
Dan barangkali, setiap laki-laki yang belajar mencintai tanpa niat memiliki,
sedang menjalani salah satu ibadah paling tua:
menyembah tanpa menguasai,
mengasihi tanpa mengklaim,
menghormati misteri tanpa perlu memecahkannya.
Doa yang Tersisa
Mungkin pada akhirnya,
perempuan bukanlah lawan yang harus ditundukkan,
dan Tuhan bukanlah kuasa yang harus ditaklukkan.
Keduanya adalah misteri yang sama—
lembut, luas, dan tak bisa kau genggam.
Namun jika kau cukup hening,
kau akan merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar cinta:
sebuah kesadaran bahwa keindahan tidak pernah ingin dimiliki,
ia hanya ingin dihadiri.