Hantu Dalam Diri dan Mewaspadai Horor yang Dangkal

Sabtu, 10 Mei 2025 | 21:24:41 WIB

~Yang kita butuhkan bukan lebih banyak hantu, tapi lebih banyak keberanian untuk memaknai ulang ketakutan. Bahwa iblis bisa berupa sistem. Bahwa hantu bisa berupa trauma kolektif.

Di tengah gempuran film horor yang terus-menerus menyodorkan sosok menyeramkan—kuntilanak, genderuwo, pocong, dukun dengan identitas budaya/suku tertentu, arwah penasaran—kita jarang sekali berhenti untuk bertanya: apa sebenarnya yang kita takuti? Apakah ia hanya bentuk di luar sana, atau sebenarnya ia berupa suara, gambar, rekaman samar dari dalam jiwa kita sendiri?

Ketakutan sebagai Proyeksi Vibrasi Rendah

Dalam banyak tradisi spiritual, ketakutan bukan sekadar emosi. Ia adalah bentuk frekuensi. Saat seseorang berada dalam keadaan terpuruk, bingung, atau penuh dendam, maka vibrasi jiwanya menurun. Dalam keadaan itu, bukan hanya persepsinya yang berubah, tapi juga kemampuannya menangkap bentuk-bentuk tertentu dari realitas—baik dalam bentuk entitas, bayangan, maupun "penampakan".

Yang dilihat belum tentu datang dari luar. Ia bisa saja proyeksi dari trauma masa lalu, luka yang tidak selesai, atau bayangan (shadow) yang ditekan terlalu lama. Dengan kata lain, "setan" adalah resonansi internal, bukan semata entitas eksternal.

Setan sebagai Sistem dalam Jagad Cilik

Dalam kosmologi banyak tradisi Timur, manusia adalah jagad cilik—mikrokosmos yang mencerminkan jagad gede. Di dalam jagad cilik ini hidup berbagai jenis kecerdasan: ada yang bersifat terang, ada yang gelap. Setan, iblis, atau jin bukan sekadar makhluk ghaib, tapi pola kesadaran: mereka adalah sistem yang bekerja dalam batin.

Setan adalah kecerdasan separatif—yang menanamkan ilusi keterpisahan, ego, dan konflik.

Iblis adalah sistem nilai yang membangkang terhadap cinta dan keterhubungan.

Jin adalah getaran energetik yang bisa netral, tapi bisa ikut mengalirkan lebih banyak ketidakstabilan batin kita. 

Ketika vibrasi kita rendah, kita menjadi lebih “dekat” secara frekuensi pada sistem-sistem ini. Maka bukan aneh bila saat seseorang depresi, misalnya, ia lebih mudah mengalami mimpi buruk, kesurupan, diperlihatkan penampakan, atau sensasi teror.

Ketakutan Kolektif dan Arsitektur Horor Populer

Hari-hari ini kita disuguhkan banyak horor. tetapi hampir selalu dalam bentuk personifikasi dangkal: seorang hantu perempuan, seorang dukun jahat, atau rumah tua berhantu. 

Namun karena masyarakat tidak diberi ruang untuk memproses itu secara rasional dan spiritual, akhirnya ketakutan itu melahirkan bentuk kolektif yang disepakati.

Padahal akar ketakutan kolektif kita jauh lebih kompleks: trauma sejarah, penindasan sosial, dan luka budaya.

Film horor tak lagi jadi ruang refleksi, tapi hiburan dari luka yang tak selesai. Ia menakut-nakuti rakyat lewat santet, bukan menginterogasi kekuasaan yang rakus dan korup.

Ia menyalahkan sosok-sosok perempuan, bukan patriarki yang membuat perempuan jadi objek, termasuk kutukan.

Ia menampilkan desa bernuansa kuno sebagai sumber teror, padahal hingar bingar urban bisa jadi sumber keterasingan dan putusnya orang-orang dari sesuatu yang lebih murni.

Kita membuat simbol-simbol kolektif dari trauma, lalu menyembah, memasukkannya ke dalam sistem yang feodalistik, lalu takut padanya. Dan kita menyebut itu budaya.

Kita Perlu Menyadari: Ketakutan Bisa Dibaca, Bukan Hanya Dirasa

Apa yang disebut sebagai horor, seringkali adalah undangan untuk mengenali diri lebih dalam. Maka yang kita butuhkan bukan hanya film horor yang lebih seram, tapi kebudayaan spiritual yang lebih jujur. Kita perlu menggeser ketakutan dari “sosok luar” menjadi “sinyal dalam”. Dari “penampakan” menjadi “pesan”. Dari “iblis” menjadi “sistem nilai yang harus kita ubah.”

Kita tidak harus memburu hantu, kita perlu memburu keberanian, keberanian untuk jujur dengan diri sendiri. 

Terkini