Hasrat Primordial dan Cara Modern Kita Mencari Makna

Selasa, 27 Mei 2025 | 01:31:39 WIB

~Di tengah dunia yang makin cepat, makin ribut, dan makin absurd, banyak manusia modern ternyata memilih satu hal: mundur. Tapi bukan mundur karena kalah. Ini mundur yang filosofis—kembali ke hal-hal lama, yang katanya lebih "asli", lebih "murni", lebih "sejati". Hasrat ini tak lain adalah bentuk dari kerinduan purba, semacam dorongan batin yang sulit dijelaskan secara logis: hasrat primordial.

Hasrat ini menyusup ke dalam kehidupan sehari-hari, tapi tidak hanya dalam bentuk seremoni keagamaan. Ia tampil juga dengan pakaian lain: kadang sebagai gaya hidup, kadang sebagai estetika, kadang juga sebagai pelarian.

Mari kita lihat, bagaimana manusia masa kini "pulang" ke masa lalu—dengan berbagai cara yang tampaknya modern, tapi sejatinya... sangat purba.

Menjadi Puritan: Agama Sebagai Mesin Waktu
Semakin kompleks dunia, semakin banyak orang yang mencari kesederhanaan dalam iman. Dalam Islam, misalnya, muncul semangat menjadi seperti generasi sahabat Nabi. Mereka belajar langsung dari sumber primer, memotong segala "bid'ah", dan berusaha kembali ke Islam versi 7 Masehi. Ini bukan sekadar beragama—ini nostalgia rohani.

Fenomena ini bukan khas Islam saja. Kristen Evangelikal, Yahudi Ortodoks, sampai Hindu tradisional juga punya versi mereka masing-masing. Pulang, dalam hal ini, adalah bentuk resistensi terhadap dunia modern yang cair dan membingungkan.

Organik dan Tradisional: Makan Sehat ala Nenek Moyang

Gaya hidup organik, bertani urban, atau minum jamu kunyit asem bukan cuma tren Instagram. Ini ekspresi bawah sadar dari keinginan kembali ke akar biologis. Kita merasa terlalu jauh dari tanah, dari siklus alami, dari makanan yang tidak datang dari pabrik.

Makanya, memakan makanan yang ditanam sendiri bukan cuma soal kesehatan. Itu ritual. Sebuah afirmasi bahwa kita masih bisa hidup tanpa taxi-food dan sejenisnya, walaupun secara realita tetap pakai kurir juga sih buat beli bibitnya. 

Lagu Lawas dan Barang Retro: Candu Nostalgia

Lagu 90-an, kaset pita, kamera analog, filter VHS—semuanya adalah bagian dari pencarian rasa lama yang pernah kita kenal. Nostalgia, bagi manusia modern, adalah bentuk spiritualitas ringan. Ia memberi ilusi stabilitas di tengah dunia yang berubah terlalu cepat.

Kita tahu kualitas audio Spotify lebih bagus. Tapi kenapa suara serak kaset dan melodi jadul lebih “ngena”? Karena itu bukan suara. Itu memori.

Tafsir Sejarah dan Fantasi Masa Lalu

Sebagian orang tidak puas dengan masa kini, maka mereka membangun utopia masa lalu. Ada yang ingin kembali ke Majapahit. Ada yang membayangkan hidup di bawah khilafah. Ada yang yakin Nusantara dulu sudah lebih maju dari Yunani kuno.

Tafsir sejarah ini bukan soal kebenaran akademik. Ini soal rasa lapar akan identitas, martabat, dan arah. Kadang, lebih nyaman percaya bahwa kita "dulu hebat" daripada mengakui bahwa kita "sekarang bingung".

Spiritualitas Teh Celup

Bagi sebagian orang urban, Tuhan terlalu jauh dan agama terlalu rumit. Spiritualitas timur makin populer. Tapi bukan dalam bentuk kepercayaan yang utuh—melainkan potongan-potongan praktik: yoga, meditasi, pernapasan, cleansing energi. Semua diracik agar bisa masuk ke rutinitas urban. Ada semacam usaha untuk dengar suara hati, yang makin tenggelam oleh notifikasi.

Ini adalah bentuk spiritualitas lintas budaya yang diseduh ala modern seperti teh celup: Praktis, personal, dan minim konflik. Cocok untuk mereka yang ingin tenang tapi alergi terhadap institusi.

Gender Kembali ke Akar Mitos

Di tengah debat gender kontemporer yang rumit, muncul tren baru: kembali ke “Divine” maskulin dan feminin. Laki-laki disuruh kembali jadi "pemburu", pemimpin, pelindung. Perempuan disuruh menyatu dengan sisi "bulan", "air", "rahim semesta".

Ini terdengar Empowering. Meski buat sebagian orang, ini cuma stiker dari patriarki lama. 
Tapi yang pasti, ini bentuk kerinduan akan peran yang jelas. Dunia modern membingungkan, maka peran-peran purba terasa lebih stabil, meski kadang simplistik.

#Penutup: Pulang Itu Bukan Mundur, Tapi Mengakar

Semua fenomena ini, pada dasarnya, adalah cara manusia menghadapi dunia yang terlalu cepat berubah. Dengan kembali ke hal-hal lama—baik lewat agama, makanan, barang, atau mitos—kita sedang berusaha mengikat diri ke sesuatu yang lebih besar dari kita.

Hasrat primordial bukan hal buruk. Ia seperti akar. Dan mungkin, dalam dunia yang terlalu banyak cabang dan ranting, akar itulah yang bisa menyelamatkan sewaktu-waktu.

Sedikit buat renungan bahwa: Memahami Akar itu penting, tapi jangan sampai kita menolak tumbuh karena terlalu sibuk menggali tanah yang lama.

Terkini